Kamis, 16 Mei 2013

Persatuan dan kesatuan mulai pudar, mengapa?

Sebagai warga negara dari sebuah negara kesatuan adalah wajar apabila senantiasa mendambakan "persatuan dan kesatuan". Logikanya, dengan persatuan dan kesatuan yang solid, negara akan tumbuh dan berkembang semakin baik, semakin sejahtera dan mampu bersaing dengan negara-negara lain dalam kesetaraan. Namun sampai dengan usia negara yang hampir 56 tahun, tampaknya bangsa belum menemukan model persatuan dan kesatuan yang tepat. Persatuan yang pernah ada masih tampak terbentuk oleh "tekanan" dan cenderung situasional.

Pada masa perang kemerdekaan, persatuan bangsa terbentuk karena perasaan senasib dan sependeritaan akibat hidup dibawah tekanan bangsa penjajah. Sedangkan pada masa Orla dan Orba, persatuan dan kesatuan bangsa yang ada, cenderung dikarenakan sososok seseorang yang karena kelebihannya masing-masing mampu berperan sebagai "pengikat" persatuan. Baik dimasa Orla maupun Orba, kita sebagai bangsa pernah merasa memiliki persatuan yang "kuat"- sekuat persatuan sapulidi. Namun model persatuan seperti itu terbukti sangat situasional dan tidak langgeng. Ketika "sang pengikat" mulai rentan dan akhirnya pudar kekuatannya, maka bersamaan dengan itu persatuan yang pernah terbentuk ikut tercerai berai persis seperti lidi-lidi yang tercerai berai akibat putus ikatan. Kemudian pada era reformasi malah tampaknya kita belum menemukan figur yang mampu berfungsi sebagai pengikat.

Mercermati perkembangan yang terjadi, mungkin sudah saatnya kita perlu merubah bentuk persatuan dan kesatuan dari model "sapulidi" menjadi persatuan dan kesatuan model "sambal" misalnya. Pada sambal, bahan bakunya merupakan persatuan dari Cabe, Garam, Terasi, Tomat, Gula dll. Kemudian bahan baku tersebut lumat bersatu menjadi suatu kesatuan yang disebut sambal, tetapi dalam cita rasanya tetap mewakiliki identitas dari masing-masing bahan baku yang digunakan, rasa pedas mewakili cabe, rasa asin mewakili garam, rasa asam mewakili tomat, dlsb.

Persatuan dan kesatuan model sambal, memang masih tergantung pada siapa yang membuatnya. Namun dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa, sipembuat bukan analog dengan seseorang yang mendapat mandat untuk berkuasa, akan tetapi analoginya adalah konstitusi dengan seperangkat landasan hukum yang berlaku bagi semua pihak. Konstitusi inilah yang harus tetap tegar "menguleg", mempersatukan komponen-komponen bangsa. Sedangkan bagi komponen yang dipersatukan juga dituntut kerelaan berkorban, menanggalkan semua simbol-simbol fisik yang dimiliki dan siap menyatu dengan komponen lain dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan beranalogi pada persatuan dan kesatuan model sambal, maka prioritas utama yang harus dikerjakan adalah agar semua komponen bangsa menjunjung tinggi Konstitusi negara. Jadikan landasan hukum yang berlaku sebagai alat pemersatu dan diberlakukan sama kepada setiap individu bangsa. Perbedaan pendapat dalam menanggapi suatu permasalahan adalah wajar bahkan diperlukan agar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi dinamis. Hanya saja dalam penyelesaiannya tetap harus konstitusional, mengacu dan bermuara pada landasan hukum yang berlaku. Jika kondisi ini sudah terpahami oleh seluruh lapisan masyarakat dari setiap komponen, maka persatuan dan kesatuan bangsa yang kita miliki akan tetap langgeng, tidak akan lekang hanya karena pergantian pimpinan ataupun alih generasi.

Sumber: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/05/23/0036.html
Sumber gambar: http://cakrawalaimajinasi.blogspot.com/2011/10/sajian-mengukuhkan-persatuan-part-ii.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar